Tersebutlah
seseorang yang bernama Rajapala, yang berasal dari Wanakeling, rupanya
tampan, pekerjaannya berburu. Pada saat berada dalam perburuan di tengah
hutan, ia kepayahan dan kehausan, lalu ada keinginannya untuk mencari
air.
Dalam perjalanannya mencari mata air, melewati sebuah asrama yang kosong, lalu ia berteduh di bawah pohon tigaron, disampingnya ada pancuran dengan air yang jernih, dikelilingi dengan pepohonan dan bunga-bunga yang harum. Pada saat menikmati keheningan, ia melihat tujuh orang bidadari (widyadhari) yang cantik-cantik, sedang asyik mandi di kolam.
Sang Rajapala mengintip dari celah-celah pohon pudak, dengan niat untuk mendapatkan seorang dari tujuh bidadari itu, sehingga timbullah niatnya, untuk mengambil baju bidadari itu, lalu diambil menggunakan galah yang panjang.
Dalam perjalanannya mencari mata air, melewati sebuah asrama yang kosong, lalu ia berteduh di bawah pohon tigaron, disampingnya ada pancuran dengan air yang jernih, dikelilingi dengan pepohonan dan bunga-bunga yang harum. Pada saat menikmati keheningan, ia melihat tujuh orang bidadari (widyadhari) yang cantik-cantik, sedang asyik mandi di kolam.
Sang Rajapala mengintip dari celah-celah pohon pudak, dengan niat untuk mendapatkan seorang dari tujuh bidadari itu, sehingga timbullah niatnya, untuk mengambil baju bidadari itu, lalu diambil menggunakan galah yang panjang.
Dengan mendapatkan baju itu lalu disembunyikannya, akhirnya seorang dari tujuh bidadari itu tidak dapat terbang kembali ke Kahyangan. Bidadari Kahyangan itu lalu bertanya kepada Rajapala, “Wahai orang laki tampan, adakah tuan melihat baju saya, jika ada saya akan menukarnya, dengan mas permata yang indah”.
Rajapala menjawab, “Wahai engkau gadis cantik, yang menawan hati, bukan mas permata yang saya inginkan, tetapi seorang anak laki, yang bijaksana,pengarang ulung, berwibawa dan dapat kelak menjadi raja, dihormati rakyat, pandai, tampan, berbudi luhur dan kata-katanya menawan hati”.
Sang bidadari lalu memberi kepastian, “Wahai
kakanda yang tampan, amat berat permintaan kakanda, walaupun demikian
saya bersedia, tetapi hanya berputra seorang, setelah itu saya akan
kembali ke Kendran (Kahyangan)”.
Dalam perkawinan
Rajapala dengan Ken Sulasih, yang berada dalam hutan, setelah lama
hamillah Ken Sulasih, lalu memohon untuk kembali pulang, agar nantinya
dapat merawat anak yang akan lahir dengan baik.
Akhirnya mereka
pulang ke Singapanjaron, dengan hidup saling mencintai. Setelah
kandungan berumur, lahirlah seorang anak laki yang tampan. Kelahirannya
itu ditandai dengan sinar matahari yang redup, hujan gerimis, pelangi,
diselingin dengan guntur, hujan bunga, puja dan doa dari angkasa, sloka,
sruti, yang menyambut kelahiran putranya.
Dengan kelahiran
putranya itu Rajapala sangat senang, setelah berumur 3 (tiga) bulan,
kelihatan ketampanan putranya, bagaikan arca mas. Semua orang ikut
gembira, melihat ketampanan dan kewibawaan putranya, diandaikan bagaikan
penjelmaan Dewa Asmara.
Setelah berumur 7 (tujuh) oton, Ken
Sulasih mohon pamit kepada Rajapala sesuai dengan perjanjiannya.
Rajapala sedih ditinggal pergi oleh Ken Sulasih, mengingat anaknya masih
kecil, akan hidup sengsara, karena kemiskinannya. Dengan kepergian Ken
Sulasih, dengan membakar diri dan menghilang, hanya berpesan putranya
agar diberi nama Durma. Ken Sulasih pulang ke Kahyangan dan Rajapala
pergi bertapa ke hutan.
Sebelum pergi bertapa Rajapala menasehati dan berpesan kepada anaknya, yaitu :
Ada sawah dan tempat rumah, yang luasnya sempit, agar sawah dikerjakan
dengan baik dan rajin-rajinlah bekerja. Anakku hendaknya teguh dan tahan
uji. Bertingkah laku yang baik. Hati-hati berbicara. Selalu senyum. Bermuka
manis. Jangan mengisap candu. Jangan berjudi. Jangan membuat
keonaran. Berlaku sopan santun. Hidup bermasyarakat dan bertetangga yang
baik. Jangan mengharapkan imbalan. Jangan mementingkan diri sendiri. Hormat
kepada raja. Bantulah tetangga dengan tulus ikhlas. Bergaullah dengan
baik dan harmonis. Jangan melupakan pertolongan orang. Berlaku yang
jujur. Berbuat berdasarkan kebenaran. Jangan congkak dan sombong. Jangan
berpura-pura pandai.
Nasihat Rajapala diakhiri dengan ucapan,
ayah orang yang bodoh, umur tua menjadi anak- anak kembali, rewel,
pertimbangkanlah dalam hati, jangan melihat kekeliruan ayah.
Setelah menasihati putranya Durma, Rajapala pergi ke hutan untuk
bertapa, memusatkan pikiran, samadhi yang ditujukan kepada Sanghyang
Siwa. Ki Durma selalu mengingat nasihat ayahnya, sebagai pedoman
hidupnya. Dengan demikian tetangganya dan orang-orang lain, sangat
senang bergaul dengannya, senang belajar, menuntut pengetahuan tak lupa
berdoa kepada Sanghyang Siwa.
Setelah dewasa ia menghadap raja
di Wanakeling, Ki Durma diterima dengan baik, karena berbudi luhur,
bijaksana dan susastra. Para menteri amat sayang dan segan kepada Ki
Durma.
Pada suatu ketika Ki Durma, mohon diri kepada
raja Wanakeling, untuk melihat ayahnya di hutan. Dalam perjalanannya,
ia dihadang oleh 3 (tiga) orang penguasa hutan, yaitu Kala Drembha, Kala
Murkha dan Durga Deni. Ketiga orang itu selalu memakan binatang dan
merusak pertapaan.
Dengan kedatangan Ki Durma, yang berwajah
tampan, Durga Deni terpanah hatinya, lalu berubah wujud menjadi orang
cantik. Ki Durga Deni merayu Ki Durma dan bertanya, “Ai, orang tampan,
apakah tidak takut datang sendirian ke dalam hutan ?”
Ki Durma
menjawab, “Tujuan saya hanya mencari ayah yang sedang bertapa dan telah
lama meninggalkan saya, maka saya sendirian di rumah”.
Ki Durga
Deni menegaskan, “Saya ini adalah utusan Dewa Indra untuk menjaga
hutan”. Ki Durga Deni terus membujuk dan merayu Ki Durma, agar mau
menerimanya. Ki Durma selalu menolak permintaan Ki Durga Deni, dengan
alasan, “saya masih kecil”.
Tersebutlah raja
Wanakeling, yang selalu dikelilingi oleh pembesar istana, setiap
pertemuan selalu menanyakan keadaan Ki Durma, yang pergi ke hutan dan
lama belum datang. Sang raja Wanakeling lalu mengutus Tumenggung Gagak
Baning dan Ki Demung Empuan, untuk mencari I Durma di hutan.
Tak diceriterakan keadaan dalam hutan, utusan bertemu dengan I Durma,
sedang berjalan-jalan mencari tempat ayahnya bertapa. Utusan memaksa I
Durma diajak pulang, karena perintah raja, hal itu didengar oleh Ki
Durga Deni, lalu ia marah dan menantang utusan itu. Pertempuran tak
terelakkan, utusan kalah melarikan diri, I Durma diajak oleh Ki Durga
Deni, menghadap pada saudaranya.
Kedua utusan itu lari,
menyelamatkan diri dan kembali ke Wanakeling, menyampaikan kepada sang
raja. Sang Raja marah dan mengerahkan pasukan, untuk berperang melawan
raksasa di hutan yang menyandera I Durma. Raja dengan pasukannya
berangkat perang, sampai di hutan terjadilah perang yang hebat. Para
patih, menteri, pimpinan perang semuanya kalah, ada yang mati dan
dimangsa, ada juga yang lari menyelamatkan diri.
Pada suatu ketika I Durma dapat menghadap raja, dengan kerendahan
hatinya dan bersujud, menyerahkan diri. Saat itulah ia menerima
perintah, bagaimana caranya untuk dapat membunuh raksasa-raksasi itu.
Ketika hari sudah malam, I Durma menghadap kepada ke tiga raksasa
bersaudara itu, I Durma diterima dengan baik dan dengan rasa sayang. I
Durma membujuk Ki Durga Deni, akhirnya luluhlah hatinya, semakin
menumbuhkan rasa sayang pada I Durma. Ki Durga Deni lupa akan dirinya,
karena bujuk rayu I Durma, lalu mengeluarkan rahasia kematiannya, yaitu,
“Tidak dikalahkan oleh manusia sakti, diatas bumi di bawah angkasa,
raksasa, bhuta, pisaca, hanya ada bidadari yang kawin dengan manusia,
berputra seorang laki, orang itulah yang mampu membunuh diriku, begitu
pula ramanda berdua (raksasa), yang merupakan anugrah Dewa Rudra”.
Dengan bujukan dan tipu muslihatnya I Durma, sambil menghibur Ki Durga
Deni, akhirnya mereka tidur berdua, bercumbu rayu, namun tidak sampai
berhubungan badan. I Durma mengaku sudak mengantuk, tidak bisa ditahan,
akhirnya tidur bersama-sama. Ketika Ki Durga Deni telah tidur nyenyak, I
Durma bangun memakan sirih dan menghunus keris, menikam dada raksasi,
darahnyapun muncrat, mendidih. Demikian juga ke dua raksasa itu dapat
dibunuh dengan sigap, dadanya diparang.
Raksasa bertiga mati
dibunuh, I Durma lalu menghadap raja, dengan menceritrakan
segala-galanya, sampai Durga Deni terbunuh bersama saudaranya. Dengan
matinya ke tiga rarksasa itu raja menjadi senang dan menitahkan kepada
para punggawa, patih, menteri dan menepati janji, bahwa siapa yang mampu
membunuh ke-3 raksasa itu, akan diangkat menjadi anak dan akan
menggantikan kedudukannya menjadi raja Wanakeling. Dengan berbagai
nasihat sang raja, kepada anak angkatnya (I Durma), demikian juga para
pejabat istana, agar selalu menepati janji.
I Durma memohon
agar mayat ke-3 raksasa itu dibakar dan diupacarai, dipimpin oleh
seorang Resi, jika tidak demikian negara kacau, diganggu oleh Panca
Korsika. Upacara dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, negara aman,
rakyat berbahagia karena akan mendapatkan pemimpin atau raja yang tampan
lahir bathin.
Setelah sang raja dengan bala wadwanya pulang
dari hutan, sampailah di istana (Puri), sang raja menobatkan putra
angkatnya (Durma), menjadi raja, dibuatkan istana di Carangsari di
sebelah selatan pasar. I Durma didampingi seorang istri, hidup rukun dan
berbahagia, karena mereka sama-sama memahami tentang Madhu Kama, dan
hari-hari pertemuan, yang nantinya akan mendapatkan keturunan yang baik
dan utama.
Demikianlah isi ringkas dari Geguritan Rajapala, semoga ada manfaatnya.
Sumber : blog nak belog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar