Hari
raya Sivalatri (Siwaratri) merupakan hari Pejagran, di mana Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa), dalam kepercayaan umat Hindu, memanifestasikan
diri sebagai Dewa Siwa yang melakukan yoga semalam suntuk untuk melebur
dosa manusia. Pada malam Sivalatri ini, tiap insan mendapat kesempatan
melebur segala dosa dengan melaksanakan brata Siwaratri.
Ini disebutkan dalam kitab Padma Purana yang menyebutkan malam
Siwaratri adalah malam peleburan dosa manusia yang pernah dilakukan
sepanjang hidupnya dan lontar Lubdaka yang menyatakan bahwa walaupun
seseorang sangatlah berdosa, tapi jika ia melaksanakan brata Siwaratri,
niscaya masih mendapat kesempatan untuk melebur semua dosanya.
Demikianlah gambaran yang dilukiskan dalam cerita rakyat Bali Lubdaka,
yang kemudian masuk ke dalam khazanah cerita rakyat Indonesia.
Cerita rakyat Bali Lubdaka
Dikisahkan bahwa Lubdaka adalah seorang pemburu binatang hutan yang
memakan atau menjual daging hasil buruannya. Pekerjaannya itu
dilakukannya setiap hari. Namun, suatu hari, nasibnya sedang apes. Di
hari yang apes itu, Lubdaka tidak memperoleh seekor pun binatang untuk
dimakan atau dijual. Hal yang lebih malang baginya, karena saking ingin
mendapatkan binatang buruan, ia lupa waktu hingga hari sudah gelap.
Kegelapan di hutan, membuat Lubdaka tidak bisa mencari jalan untuk
pulang. Walhasil, ia pun memilih memutuskan untuk menginap saja di
hutan. Untuk itu, ia mencari pohon yang besar untuk tempatnya tidur
karena takut terhadap ancaman binatang buas.
Kakinya membawa
Lubdaka pada pohon Bila yang di bawahnya terdapat air telaga yang
jernih, dengan sebuah pelinggih dan Lingga. Pelan-pelan tapi pasti,
Lubdaka memanjat pohon Bila. Setelah mendapat posisi yang nyaman,
Lubdaka bersandar, tapi berusaha tidak tertidur, walaupun ia mengantuk.
Pasalnya, jika ia sampai tertidur pulas, tentu ia bakal terjatuh. Maka
dari itu, Lubdaka memetik daun-daun pohon Bila dan menjatuhkannya ke
bawah, sehingga mengenai Lingga yang ada di bawahnya. Lubdaka sendiri
tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siwalatri, di mana Dewa
Siwa tengah melakukan yoga.
Sambil membuang daun-daun pohon
Bila ke bawah, tanpa terasa Lubdaka mulai menyesali segala perbuatan
jahat yang pernah dilakukannya sepanjang hidup, baik yang disengaja
maupun tidak disengaja. Di atas pohon Bila itu, diam-diam hatinya
bertekad untuk berhenti bekerja sebagai pemburu.
Lamunan
panjang Lubdaka akan dosa-dosanya seolah mempercepat waktu. Rasanya baru
sebentar saja Lubdaka melamun, tapi tahu-tahu pagi pun tiba. Itu
menggambarkan bahwa dosa-dosa yang pernah dilakukannya sudah terlalu
banyak dan tidak bisa diingatnya satu per satu lagi dalam waktu satu
malam. Karena sudah pagi, ia berkemas-kemas pulang ke rumahnya.
Sejak hari itu, Lubdaka beralih pekerjaan sebagai petani. Tapi, petani
tidak memberinya banyak kegesitan gerak, sehingga tubuhnya mulai kaku
dan sakit, yang bertambah parah dari hari ke hari. Hingga, akhirnya hal
ini membuat Lubdaka meninggal dunia.
Dikisahkan selanjutnya,
roh Lubdaka, setelah lepas dari jasadnya, melayang-layang di angkasa.
Roh Lubdaka bingung tidak tahu jalan harus ke mana. Pasukan Cikrabala
kemudian datang hendak membawanya ke kawah Candragomuka yang berada di
Neraka.
Di saat itulah, Dewa Siwa datang mencegah pasukan
Cikrabala membawa roh Lubdaka ke kawah Candragomuka. Di situ, terjadi
diskusi antara Dewa Siwa dengan pasukan Cikrabala. Menurut pasukan
Cikrabala, roh Lubdaka harus dibawa ke neraka. Ini disebabkan, semasa ia
hidup, ia kerap membunuh binatang. Pendapat itu mendapat tanggapan lain
dari Dewa Siwa. Menurut Dewa Siwa, walaupun Lubdaka kerap membunuh
binatang, tapi pada suatu malam di malam Sivalatri, Lubdaka begadang
semalam suntuk dan menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Sehingga, roh
Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Singkat cerita, roh Lubdaka
akhirnya dibawa ke Siwa Loka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar